Minggu, 10 Februari 2013

Ketika Tuhan Ngajak Lucu-Lucuan (2)


Saya sering bertanya-tanya sendiri. Nggak bisakah semua orang di dunia ini mendapat kebahagiaan?
Karena, pada kenyataannya memang semua orang nggak pernah merasakan kebahagiaan di waktu yang sama. Entahlah apa di jaman-jaman dulu kondisi semacam ini bisa terjadi. Entah apakah memang pernah terjadi di suatu saat di jaman dulu, semua orang merasakan kebahagiaan dan nggak ada seorang pun yang merasakan sebaliknya.

Malah yang sering terjadi adalah, terkadang kebahagiaan seseorang merupakan penderitaan bagi orang lainnya. Kamu mungkin pernah liat kondisi seperti ini, bahkan mungkin sebagian di antara kamu pernah mengalaminya langsung. Yang saya ingat adalah beberapa bulan yang lalu ketika Ibu saya baru pulang dari pasar dan dengan setengah histeris bercerita pada seisi rumah tentang harga cabe di pasar yang tiba-tiba aja turun semurah-murahnya. Kondisi semacam itu tentulah membuat jutaan ibu-ibu rumah tangga macam ibu saya berbahagia. Tapi saya jadi terpikir, apakah bapak dan ibu petani dan keluarga mereka juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dengan menurunnya harga cabe otomatis pendapatan mereka juga menurun. Sementara biaya yang mereka keluarkan untuk produksi tentunya juga nggak sedikit.

Kenapa tulisan saya jadi melenceng ke harga cabe gini ya? Tadinya sih saya mau ngambil contoh dari hubungan cinta-cintaan. Misalnya, apakah kebahagiaan suatu pasangan juga dirasakan oleh semua orang di dekat mereka. Apakah bener-bener nggak ada orang yang justru merasa menderita dengan kebahagiaan keduanya. Tadinya saya pengen ngambil contoh ini, tapi saya takut kamu yang baca salah persepsi, dikiranya saya curhat atau apa, padahal emang iya... Hehehehe.

Mungkin nggak salah ya kalo saya berpendapat bahwa memang dari dulu sampai sekarang nggak pernah terjadi kondisi kayak gitu, dimana semua orang benar-benar merasakan kebahagiaan di waktu yang sama tanpa ada seorang pun yang merasa sedih dan menderita. Entahlah, mungkin saja hal ini memang pernah terjadi di jaman dahulu tapi tidak terpublikasikan, atau mungkin malah hal ini akan terjadi pada suatu saat di masa depan.
Bisa saja.

Kamis, 07 Februari 2013

Life is a Drama (Or Not)



Kamu pernah denger lagu Panggung Sandiwara? Seingat saya lagu ini pernah dibawain sama God Bless, band rock jaman baheula yang vokalisnya Ahmad Albar yang rambutnya kribo itu. Don't think that you're rock enough till you know them! Nggak ada satupun gitaris rock terhormat Indonesia yang nggak kenal Ian Antono, gitarisnya God Bless.
O iya, selain oleh God Bless, Panggung Sandiwara ini juga pernah dibawain sama Alm. Nike Ardilla.

Bicara soal sandiwara, saya udah nggak pernah denger sandiwara radio lagi. Masih ada nggak sih? Buat kamu yang nggak tau sandiwara radio itu apa, okelah, saya akan meluangkan jari saya untuk mengetikkannya buat kalian.

Jadi, akhir 80-an sampe 90-an awal itu televisi belum terlalu booming kayak sekarang. Seinget saya dulu televisi di rumah saya itu cuma bisa nangkep siaran TVRI, itu juga jam siarannya terbatas. Stasiun TV swasta yang ada saat itu baru RCTI, dan itu juga pake iuran kalo mau nontonnya. Radio lah yang booming pada masa itu. Kalo kamu generasinya Justin Bieber, paling yang kamu tau radio itu isinya cuma musik sama berita dikit-dikit. Tapi, siaran radio jaman dulu nggak kayak sekarang, dulu jauh lebih variatif. Selain musik ada juga siaran berita, pertandingan sepak bola (bisa kalian bayangin gimana repotnya jadi reporternya). Ada juga pengumuman nomer Porkas sama SDSB, ini semacam judi gitu, kalo jaman sekarang kayak togel gitu lah (sebagai catatan, dulu ini sifatnya legal dan sebagian keuntungannya konon katanya digunain buat biayain bidang olahraga, mohon dikoreksi kalo saya salah). Masih banyak lagi siaran lainnya, salah satunya ya sandiwara radio itu. Sandiwara radio itu semacam drama yang cara nikmatinnya cuma bisa didengerin di radio. Kalo bisa kamu bayangin, gimana adegan sinetron cengeng ala Indosiar itu, cuma bisa dinikmatin tiap adegannya dengan cara didenger, kurang lebih begitu lah.
Cuma memang, jaman dulu itu materinya belum terlalu berat kayak sinetron jaman sekarang, cerita yang disiarin biasanya cerita-cerita silat kolosal bangsanya Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, atau Nyi Pelet. Saya inget jaman dulu, tiap ada sandiwara radio orang-orang pada rame ngerubungin radio pengen dengerin ceritanya. Hehehehe.

Bisa dimaklumi lah kalo jaman sekarang sandiwara radio udah nggak ada lagi. Dengan model hiburan yang lebih Wah dan materi yang lebih variatif (walau kadang terkesan maksa), ya wajar kalo sandiwara radio ditinggalkan dan habis dimakan jaman. Transformasinya ya paling-paling sinetron, Film, atau FTV.

Kembali lagi ke topik lagu Panggung Sandiwara. Kalo gitu, karena sandiwara radio udah nggak relevan lagi sama generasi sekarang, berarti analoginya di lagu Panggung Sandiwara juga mesti diganti, analoginya aja lho, bukan lagunya. Dunia ini bukan lagi panggung sandiwara, lebih tepatnya, dunia ini adalah adegan sinetron.

Tapi memang sih ya, adegan sinetron jaman sekarang nggak ada yang realistis mewakili apa yang ada di kehidupan nyata. Adegan rebutan harta di sana-sini, menghalalkan cara apapun cuma buat harta dan kekuasaan. Saya sih nggak percaya kalo manusia jaman sekarang udah separah itu moralnya.
Yang lebih parahnya lagi tayangan FTV itu, adegannya suka nggak logis. Dua orang yang nggak saling kenal lagi jalan di kampus trus nggak sengaja tabrakan, lalu adegannya didramatisir sedemikian rupa dan endingnya keduanya pacaran. Ada lagi yang awalnya musuh bebuyutan terus tiba-tiba karena sesuatu hal endingnya keduanya jadi pacar. Bukan berarti saya nggak percaya bahwa Tuhan Yang Maha Asyik bisa aja membuat adegan-adegan cinta itu jadi nyata di kehidupan, malah bisa jadi salah satu di antara kalian atau bahkan saya adalah tokohnya. Cuma, kalo kita liat sama yang terjadi di kehidupan kebanyakan orang kan kayaknya kejadian yang kayak gini ini jarang terjadinya. Jadi, kenapa nggak buat cerita dari kejadian yang sering dialami banyak orang aja? Siapa tau dari situ orang-orang yang kebetulan menghadapi masalah yang mirip kayak adegan itu bisa ngambil solusinya.

Saya nggak sepenuhnya benci FTV, malah kadang-kadang saya seneng juga nontonnya, apalagi kalo pemeran ceweknya Marsha Timothy atau Agni Pratistha, serasa nggak rela ketinggalan senyum manisnya. Hehehehe. Cuma ya itu tadi, adegannya suka nggak realistis. Ya, bukan apa-apa, saya suka nggak ngabayangin aja kalo saya tubrukan di mall sama mas-mas yang jaga toko buku, apa kemudian Tuhan bakal ngelanjutin cerita ini mirip kayak adegan FTV yang saya ceritain di atas, Hih! Amit-amit!

Jadi kalo di antara kamu ada yang nanya "Jadi, Wan, kamu percaya nggak kalo hidup ini kayak Drama?" saya mungkin nggak tau mesti jawab apa. Hanya saja, saya mungkin akan cukup sepakat sama hal itu, apalagi kalo saya adalah tokoh utama pria dan tokoh utama wanitanya itu cewek yang cakepnya kayak Marsha Timothy atau Agni Pratistha. Apalagi kalo di bagian endingnya kami berdua pacaran, atau bahkan menikah. Eh, kamu jangan mencibir dulu. Siapa tau pemeran wanitanya itu kamu.

Hahahahaha

Rabu, 06 Februari 2013

Ketika Tuhan Ngajak Lucu-Lucuan


Saya sering mikir kalo Tuhan itu suka nggak adil. Sebagian kamu juga mungkin pernah berpikir gitu. Sebagian lainnya mungkin pernah tapi cukup malu untuk mengakuinya.

Terkadang saya suka ngiri kalo lagi nongkrong di kafe bareng temen terus ada pasangan yang (dalam bahasa saya) njomplang, maksudnya secara fisik nggak ekuivalen antara cowok dan ceweknya. Yang sering saya liat sih kebanyakan ceweknya itu betul-betul Subhanalloh, tapi cowoknya kok Astaghfirulloh gitu. Hehehe.
Tentu saja, kalian yang baca tulisan ini bebas untuk menilai bahwa tulisan ini saya buat secara independen atau justru didominasi motif karena status saya yang saat ini masih single fighter (semacam curi kesempatan untuk promo. hehehe). Ya, memang sih, yang kebanyakan cewek-cewek kayak gitu cowoknya berasal dari kalangan yang secara sosial ekonomi termasuk dalam level menengah ke atas. Tapi, saya cukup yakin kalo cewek-cewek jaman sekarang nggak se-matre itu. Saya nggak benci kaum hawa, seneng malah kalo ada di antara spesiesnya yang ngajak kenalan. Kayak kata Sujiwo Tejo, "Perempuan itu adalah wajah Tuhan."

Yang menarik perhatian saya adalah, kira-kira apa sih yang jadi motif cewek-cewek yang subhanalloh itu untuk jadiin cowok yang secara fisik itu cukup melempem? Sebagian di antara kamu pasti berpendapat kalo tampang bukanlah segalanya, bisa jadi cowok itu memang secara fisik nggak terlalu oke tapi secara perilaku dan kepribadiannya cukup baik.
Oke lah, kita kesampingkan aspek itu. Bukan hanya secara fisik, malah sebagian di antara cowok-cowok itu ada yang perilakunya juga nggak asik.

Beberapa minggu lalu, seorang temen saya yang cewek cerita ke saya kalo dia baru diputusin pacarnya. Setelah beberapa lama mereka jalan bareng, akhirnya ketauan kalo ternyata si cowok selama ini sering ada affair di belakang. Saya pribadi cukup kenal temen saya ini, secara fisik dia lumayan cantik. Saya juga sedikit tau tentang mantannya itu. Secara fisik yaaa, gitu lah, saya nggak tega ngomonginnya, tapi saya berani jamin kalo kamu ngeliat cowok itu pasti kamu juga punya penilaian yang nggak jauh berbeda dengan saya.
Cerita berlanjut ketika beberapa hari setelah curhatannya yang sedihnya kayak telenovela jaman 90an itu dia kembali  menghubungi saya. Kali ini dengan ekspresi yang gembira yang bilang kalo dia udah balikan lagi sama cowoknya itu.
Saya pikir, kok agak aneh ya, temen saya itu mau nerima orang yang secara fisik nggak oke dan bahkan pernah mengkhianati dia. Bukannya apa-apa, saya punya sikap secara pribadi kalo kesalahan pertama adalah awal dari munculnya kesalahan kedua, ketiga, dan seterusnya. Kamu juga mungkin pernah denger ungkapan yang bilang "Sekali kamu berbohong, kamu akan menciptakan sekian banyak kebohongan lainnya untuk menutupi bohongmu yang pertama."

Ya, pada akhirnya memang saya harus sepakat bahwa mungkin tiap orang punya alasannya masing-masing untuk jatuh cinta dan mencintai. Lagipula, mungkin disitulah letak keadilan Tuhan tadi. Untuk mengimbangi yang cakep, maka diciptakanNya pasangannya yang nggak cakep. Tapi berarti dengan analogi itu berarti saya bakal dapet cewek yang nggak cakep........ Hahahahaha..

Ah, sudahlah.. Tuhan memang Maha Segala-galanya, dan nggak berlebihan kalo malam ini saya berpendapat bahwa Tuhan memang Maha Lucu.

Selasa, 05 Februari 2013

Terlintas Begitu Saja

Pernahkah kamu bertanya sesuatu pada dirimu sendiri, pertanyaan yang sebetulnya nggak terlalu penting. Toh kalau pertanyaan itu nggak terjawab kamu tetap bisa nonton Doraemon setiap hari Minggu jam 8 pagi di RCTI. Kamu juga masih bisa dapetin ending bahwa akhirnya Raja Api Ozae berhasil dikalahkan oleh Avatar Aang, dan keempat negara hidup secara damai. Hanya saja, kamu merasa pertanyaan itu cukup perlu untuk mendapat jawaban.

Tadi di perjalanan pulang ke rumah, saya terpikir begitu saja, kira-kira manakah yang lebih banyak di dunia ini, janda atau duda?

Saya teringat jaman masih kuliah Psikologi Perkembangan. Waktu itu dosen saya yang perawakannya sudah cukup tua itu pernah menjelaskan bahwa secara statistik pria lebih berpeluang untuk mati muda dibandingkan wanita. Satu alasan yang menurut saya cukup logis adalah bahwa menurut Ibu Dosen saya yang saya hormati itu, pria cenderung lebih memendam masalahnya sendiri daripada wanita. Saya pikir ada benarnya juga. Melihat status facebook atau twitter teman-teman saya yang pria dan wanita, saya melihat bahwa wanita terlihat cukup mudah untuk menumpahkan uneg-unegnya jika menghadapi suatu masalah dibandingkan pria.
Kalo nggak percaya kamu lihat saja, lebih banyak mana teman kamu yang statusnya "Ngeselin banget sih Si Anu itu!" atau "I'm not in good mood." yang cewek atau cowok? Saya rasa sih cewek yang kebanyakan kayak gini.

Tentu saja ini di luar konteks tentang data klasik yang menyebutkan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada pria di dunia ini. Kalau saya lebih suka menilainya bahwa pria memang lebih suka untuk terlihat otonomis (demikian saya menyebutnya), salah satunya ya itu tadi, dengan tidak menunjukkan perasaannya. Memang, pada beberapa situasi sepertinya tidak ada perbedaan bahwa pria dan wanita akan menunjukkan emosinya. Hal ini terutama pada saat jaringan selulernya ngadat sehingga instant messagingnya pending gila-gilaan, dan apalagi disaat tanggal tua dan dompet lagi tipis-tipisnya. Hehehehe.

Berlanjut lagi dari hal itu adalah, dengan kondisi yang kayak gitu, pria cenderung lebih rentan untuk terkena penyakit-penyakit yang sumbernya dari tekanan psikis, istilah kerennya Psikosomatis. Dimulai dari stress, terus jadinya jantungan, hipertensi, dan, ah banyak lagi, terlalu ngeri untuk membayangkannya. Sebabnya ya itu tadi, beban pikiran yang menumpuk, nggak tersalurkan, akhirnya residu itu berkumpul kecil-kecil dan membesar dan, begitulah.

Ya, saya memang harus sepakat dengan kalian semua yang berpendapat bahwa tulisan ini cukup bias karena saya menulisnya dari sudut pandang saya pribadi sebagai seorang pria. Tapi saya cukup welcome kalo di antara kalian yang baca tulisan ini mau melihatnya dari sudut pandang yang lain. Mungkin di antara kalian ada yang cewek dan ingin menanggapinya dari sudut pandang wanita, ya sah aja. Siapa tau kita bisa berkenalan, siapa tau jodoh. Hehehehe.

Ya, akhirnya setidaknya saya bisa mendapat jawaban dari pertanyaan iseng saya tadi. Mungkin saja memang di dunia ini lebih banyak janda ketimbang duda.
Mungkin.